SEJARAH KERAJAAN BANUA LIMA

Banua Lima adalah sebuah provinsi Kesultanan Banjar. Propinsi ini meliputi sebagian besar wilayah Hulu Sungai di Kalimantan Selatan. Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu wilayahnya meliputi semua daerah dari Kota Negara sampai sungai-sungai yang berada di hulunya. Distrik tersebut dalam bahasa Banjar disebut lalawangan yaitu :

  1. Sungai Banar (Amuntai Selatan)
  2. Amuntai
  3. Alabio
  4. Kelua
  5. Negara
Dalam perkembangannya kelima distrik tersebut kemudian dimekarkan lagi menjadi lebih banyak yaitu Distrik Negara, Distrik Amandit, Distrik Alabio, Distrik Amuntai,Distrik Balangan, Distrik Batang Alai, Distrik Labuan Amas, Distrik Kelua, dan Distrik Tabalong.
Jadi dalam pengertian ini daerah Margasari dan Banua Ampat, Bakumpai dan daerah Mangkatip tidak termasuk dalam wilayah Banua Lima.
Banua Lima versi kuno (sebelum terbentuknya suku Banjar) pada masa kerajaan Hindu meliputi 5 negeri besar [1]yaitu
  1. Kuripan (Amuntai)
  2. Daha (Nagara-Margasari)
  3. Gagelang (Alabio)
  4. Pudak Sategal (Kalua)
  5. Pandan Arum (Tanjung)
Kelima suku/negeri tersebut mendapat pengaruh Jawa (Majapahit), tetapi khususnya suku/negeri Daha mendapat pengaruh dari Keling.

[sunting] Adipati

Setiap lalawangan (distrik) dipimpin kepala daerah yang bergelar Kiai Tumenggung (Temanggung). Gabungan kelima lalawangan ini dipimpin seorang kepala daerah yang bergelar Kiai Adipati. Pada masa pemerintahan Sultan Adam Alwazikubillah (1825-1857), gubernur (adipati) Banua Lima adalah Kiai Adipati Danu-Raja (Jenal) putera Kiai Ngabehi Jaya Negara (Pambakal Karim). Pambakal Karim adalah ipar dari Nyai Ratu Komala Sari. Kiai Adipati Danu Raja yang sebelumnya bergelar Kiai Tumenggung Dipa-Nata merupakan anak kemenakan dari permaisuri Sultan Adam, Nyai Ratu Komala Sari. Kiai Adipati Danu-Raja masih keturunan anak cucu orang sepuluh (kelompok Nanang). Tumenggung Jalil (Kiai Adipati Anom Dinding Raja) adalah ipar Kiai Adipati Danu-Raja. Sejak wilayah Kerajaan Banjar dikuasai kolonial Belanda, Kiai Adipati Danu Raja menjadi regent pertama Banua Lima dengan gelar Raden Adipati Danu Raja.

[sunting] Banua Lima pada Masa Kerajaan Negara Dipa-Negara Daha (1300-1565)

Ketika Ampu Jatmika, saudagar dari negeri Keling datang ke pulau Hujung Tanah (Borneo) untuk membuka negeri baru, ia memasuki sungai Bahan (sungai Negara) kemudian mendirikan candi Laras di tepi sungai Tapin, sebagai pusat kerajaan Negara Dipa. Setelah mengangkat dirinya sebagai raja, ia mencari daerah baru di sebelah hulu sungai Bahan dan menaklukan penduduknya yaitu daerah lima aliran sungai yaitu sungai Batang Alai, sungai Tabalong, sungai Balangan, sungai Pitak (sungai Pitap), dan sungai Amandit serta wilayah perbukitan yang sejak semula dihuni oleh suku Dayak Bukit. Kelima daerah inilah yang disebut sebagai Banua Lima. Masing-masing Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut dipimpin seorang yang bergelar sakai. Ampu Jatmika kemudian mendirikan Candi Agung (Amuntai) sebagai pusat kerajaan yang baru. Selanjutnya kemudian pusat kerajaan berpindah ke daerah Negara disebut Kerajaan Negara Daha. Menurut sebagian pendapat para ahli sejarah, pada masa Maharaja Tumenggung, pusat kerajaan berada di Muara Rampiau, (Margasari). Jadi sebutan wilayah di hulu (sungai Bahan) dari ibukota kerajaan tetap disebut Banua Lima sedangkan daerah hulu sungai Tapin disebut Banua Ampat. Sedangkan pelabuhan niaga kerajaan Negara Daha berada di Bandar Muara Bahan, di daerah Bakumpai. Wilayah Banua Lima pada masa itu sama cakupannya dengan wilayah Banua Lima pada masa Kesultanan Banjar.

Sejarah

Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Jawa (Majapahit)[17] sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang Kuala), raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.[18][19]
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan Selatan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda sejak 11 Juni 1860, yaitu :
  1. Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
  2. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
  3. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
  4. Keraton III disebut Kesultanan Banjar
  5. Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
  6. Keraton V disebut Pagustian
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para Pangeran juga berambisi sebagai pengganti Sukarama yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi putra Sukarama menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Raden Samudera sebagai kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam keselamatannya, tetapi berkat pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan Daha, ia berhasil lolos ke hilir sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih (Kepala Kampung Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha dengan mendirikan bandar perdagangan sendiri dan tidak mau lagi membayar upeti. Pangeran Tumenggung, raja terakhir Kerajaan Negara Daha akhirnya menyerahkan regalia kerajaan kepada keponakannya Pangeran Samudera, Raja dari Banjarmasih. Setelah mengalami masa peperangan dimana Banjar memiliki empat laksa (40.000) prajurit setelah mendapat tambahan pasukan dari daerah-daerah pesisir Kalimantan dan Kesultanan Demak. Pada masa kejayaannya Kesultanan Demak memiliki 1000 jung yang masing-masing memuat 400 prajurit.[20]) Hasil akhirnya kekuasaan kerajaan beralih kepada Pangeran Samudera yang menjadi Sultan Banjar yang pertama, sementara Pangeran Tumenggung mundur ke daerah Alay di pedalaman dengan seribu penduduk.
Tomé Pires melaporkan bahwa Tanjompure (Tanjungpura/Sukadana) dan Loue (Lawai) masing-masing kerajaan tersebut dipimpin seorang Patee (Patih). Patih-patih ini tunduk kepada Patee Unus, penguasa Demak. [21]. Kemungkinan besar penguasa Sambas dan Banjarmasin juga telah ditaklukan pada masa pemerintahan Sultan Demak Pati Unus/Pangeran Sabrang Lor (1518-1521) sebelum penyerbuan ke Malaka.

[sunting] Masa kejayaan

Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit. [22]
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.[23]
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.[24][25][26][27]
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun.[22]Perang Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin.[28] Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.[29]
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan.[30] Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.[31]

[sunting] Wilayah Kesultanan Banjar

Wilayah Kesultanan Banjar adalah negeri-negeri yang menjadi wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar khususnya sampai pertengahan abad ke-17 dan abad sebelumnya.[32][33][34][35][36]
Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan wilayah inti meliputi 5 distrik besar di Kalimantan Selatan yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung).[37] Sejak awal abad ke-16 berdirilah Kesultanan Banjar yang bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus Majapahit. Menurut Hikayat Banjar sejak zaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas (Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun). Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya terdapat 3 suku besar Dayak yaitu Dayak Biaju, Dayak Dusun dan Dayak Pari (Ot Danum) yang merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar. Kesultanan Brunei merupakan kesultanan yang pertama di pulau Kalimantan, dan kemudian disusul berdirinya Kesultanan Banjar tahun 1526. Kedua kesultanan merupakan saingan. Kesultanan Brunei menjadi penguasa tunggal di wilayah utara Kalimantan. Pada masa kejayaannya Kesultanan Banjar mampu menyaingi kekayaan Kesultanan Brunei dan menarik upeti kepada raja-raja lokal. Suku/bangsa Banjar merupakan kelompok masyarakat Melayu yang terbanyak di Kalimantan, bahkan jika dibandingkan dengan suku Brunei. Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-16 dan ke-17, yang pada masa itu belum banyak suku pendatang yang mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa, Bugis, Mandar, Arab dan Cina.
Teritorial kerajaan Banjar pada abad ke 15-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
  1. Negara Agung
  2. Mancanegara
  3. Daerah Pesisir (daerah tepi/daerah terluar)
Pada mulanya ibukota Kesultanan Banjar adalah Banjarmasin kemudian pindah ke Martapura.[38] Pada masa kejayaannya, wilayah yang pernah diklaim sebagai wilayah pengaruh mandala kesultanan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas di barat laut sampai ke negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) di timur laut yang letaknya jauh dari pusat kesultanan Banjar. Negeri Sambas dan Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) pernah mengirim upeti kepada raja Banjar. Selain itu dalam Hikayat Banjar juga disebutkan negeri-negeri di Batang Lawai, Sukadana, Bunyut (Kutai Hulu) dan Sewa Agung atau Sawakung.[24] Negeri-negeri bekas milik Tanjungpura yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana terletak di sebelah barat Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Tanjungpura (Sukadana) dan Banjarmasin. Tanjung Sambar merupakan perbatasan kuno antara wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin). Menurut sumber Inggris, Tanjung Kanukungan (sekarang Tanjung Mangkalihat) adalah perbatasan wilayah mandala Banjarmasin dengan wilayah mandala Brunei, tetapi Hikayat Banjar mengklaim daerah-daerah di sebelah utara dari Tanjung Kanukungan/Mangkalihat yaitu Kerajaan Berau kuno juga pernah mengirim upeti kepada Kerajaan Banjar Hindu, dan sejarah membuktikan daerah-daerah tersebut dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda. [39][40]Perbatasan di pedalaman, daerah aliran sungai Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin) yang dinamakan daerah Lawai[41] Sanggau dan Sintang juga dimasukan dalam wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar. Dari bagian timur Kalimantan sampai ke Tanjung Sambar terdapat beberapa distrik/kerajaan kecil yang berada di bawah pengaruh mandala kekuasaan Sultan Banjar yaitu Berau, Kutai, Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tatas, Dusun Hulu, Dusun Ilir, Bakumpai, Dayak Besar (Kahayan), Dayak Kecil (Kapuas Murung), Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin. Inilah yang disebut "negara Kerajaan Banjar". Daerah-daerah kekuasaan Sultan Banjar yang paling terasa di Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Bakumpai dan Dusun.[42] Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam wilayah Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar kepulauan Kalimantan, walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.[43]
Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).
Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
  • Sejak ibukota dipindahkan ke Daerah Martapura[44] maka kota Martapura sebagai Kota Raja merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
  • Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :
  1. Tanah Laut atau Laut Darat terdiri :
    1. Satui
    2. Tabunio. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
    3. Maluka, daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.
  2. Daerah Banjar Lama/Kuin (Banjarmasin bagian Utara) dan Pulau Tatas (Banjarmasin bagian Barat). Tahun 1709[45][46] atau Tahun 1747 Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas (Banjarmasin bagian barat) merupakan daerah yang mula-mula dimiliki VOC_Belanda.[47] Pulau Tatas termasuk daerah yang diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Banjar Lama (Kuin) sampai perbatasan daerah Margasari masih tetap sebagai wilayah kesultanan sampai 1860.
  3. Margasari. Wilayah kerajaan sampai 1860.
  4. Banua Ampat artinya banua nang empat yaitu Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung. Wilayah kesultanan sampai 1860.
  5. Amandit. Wilayah kerajaan sampai 1860.
  6. Labuan Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
  7. Alay. Wilayah kerajaan sampai 1860.
  8. Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua. Wilayah kerajaan sampai 1860.
  9. Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari kuala Anzaman ke hilir sampai kuala Lupak. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau Burung.
  10. Tanah Dusun yaitu dari kuala Marabahan sampai hulu sungai Barito. Pada 13 Agustus 1787, Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun Hilir) dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap termasuk daalam wilayah inti Kesultanan Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.
  • Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua daerah ini merupakan wilayah asal Kesultanan Banjar sebelum pemekaran yang terdiri dari :
    • Wilayah Barat yaitu wilayah Tanah Kotawaringin dan Tanah Dayak (Biaju) yaitu meliputi daerah Kerajaan Kotawaringin (dengan distrik-distriknya: Jelai dan Kumai), Pembuang, Sampit, Mendawai serta daerah milik Kotawaringin di Kalbar yang dihuni Dayak Ot Danum yaitu Lawai atau Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) yang letaknya bersebelahan dengan kawasan udik sungai Katingan/Mendawai dan berbatasan dengan Kerajaan Sintang. Perbatasan Kerajaan Kotawaringin dengan Kerajaan Sukadana/Matan terletak di Tanjung Sambar. Juga turut diklaim wilayah Tanah Dayak (Rumpun Ot Danum), yang berpusat mandala di udik sungai Kahayan (Tumbang Anoi) yaitu daerah-daerah suku Dayak Biaju dan Dayak Pari (Ot Danum) beserta semua daratan yang takluk kepadanya. Semua distrik-distrik di wilayah Tanah Kotawaringin dan Tanah Dayak diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Secara resmi daerah-daerah Dayak pedalaman tersebut diduduki Belanda sejak Perjanjian Tumbang Anoi pada Tahun 1894.
    • Wilayah Timur (Kalimantan Tenggara) : yaitu Tanah Paser dan Tanah Bumbu. Kerajaan Paser didirikan oleh seorang panglima Kerajaan Banjar atau Kuripan-Daha, sehingga sejak semula takluk kepada Kesultanan Banjar, namun belakangan berada di bawah pengaruh La Madukelleng. Tahun 1703 Tanah Paser berubah dari pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, daerah ini diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan dimulai pada masa Sultan Paser Sultan Mahmud Han menjalin kontrak politik dengan Hindia Belanda. Kerajaan Tanah Bumbu didirikan Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah, yang pada mulanya mencakup kawasan mulai Tanjung Aru sampai Tanjung Silat, belakangan wilayah intinya terutama terdiri atas 7 divisi: Cengal (Pamukan), Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang), Cantung, Buntar-Laut dan Batulicin. Pada bulan Juli 1825, Raja Aji Jawi, penguasa Tanah Bumbu yang memiliki 6 daerah (Cengal, Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan, Cantung, Buntar-Laut) membuat kontrak politik dengan Hindia-Belanda yang menjadikan Tanah Bumbu sebagai swapraja. Tahun 1841, negeri Sampanahan di bawah Pangeran Mangku Bumi (Gusti Ali) menjadi swapraja terpisah dari wilayah Tanah Bumbu lainnya. Tahun 1846 Buntar-Laut dianeksasi/diintegrasikan oleh penguasa Cantung yang kelak menjadi swapraja tersendiri terpisah dari wilayah Tanah Bumbu di bawah Raja Aji Mandura sebagai Raja Cantung dan Buntar-Laut. Negeri Batulicin di bawah Pangeran Aji Musa, kemudian digantikan puteranya Pangeran Abdul Kadir yang kelak mendapatkan negeri Kusan dan Pulau Laut. Kerajaan Kusan pada mulanya didirikan Sultan Amir bin Sultan Muhammadillah rival Sunan Nata Alam dalam memperebutkan tahta Kesultanan Banjar. Sultan Banjar melantik Hasan La Pangewa sebagai kapten suku Bugis bergelar Kapitan Laut Pulo sebagai penguasa Pagatan setelah ia berhasil mengusir Sultan Amir dari Kerajaan Kusan. Di masa Arung Botto, Raja Pagatan menjalin kontrak sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda. Belakangan wilayah Kusan digabung dengan Tanah Pagatan dan kemudian Hindia Belanda membentuk pula swapraja Sabamban. Wilayah Kalimantan Tenggara ini diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, ditegaskan lagi pada tahun 1826. Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja yang meliputi Kesultanan Paser dan wilayah Tanah Bumbu (Sabamban, Kusan, Pagatan, Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau Sebuku, Bangkalaan, Cantung dengan Buntar-Laut, Sampanahan, Manunggul, Cengal). Semua kerajaan ini termasuk ke dalam Borneo Timur di bawah Asisten Residen yang berkedudukan di Samarinda sejak tahun 1846.
  • Teritorial/ring keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC pada 20 Oktober 1756 yang berencana untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang melepaskan diri yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Paser, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri dari :
    • Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin meliputi kawasan timur Kalimantan dan jika digabung dengan kawasan selatan Kalimantan menjadi Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.[48] Kerajaan-kerajaan di Kaltim tergolang sebagai negara dependen di dalam Kesultanan Banjar.[49]
  1. Wilayah Tanah Kutai. Tahun 1735 Kerajaan Kutai Kartanegara berubah dari pemerintahan Pangeran Adipati menjadi kesultanan. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
  2. Wilayah Tanah Berau/Kuran (sejak 1810-an terbagi menjadi Gunung Tabur dan Tanjung) beserta daerah Berau yang melepaskan diri pada abad ke-18 dan bawah pengaruh Kesultanan Sulu (& Brunei) yaitu Tanah Bulungan dan Tanah Tidung. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.
  3. Wilayah terluar di timur yang telah lama melepaskan diri dan kemudian di bawah pengaruh Brunei yaitu Karasikan atau Buranun/Banjar Kulan (Banjar Kecil).[50][51][52][40][5][53][54]
    • Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah angin meliputi kawasan barat Kalimantan yang kemudian menjadi Karesidenan Borneo Barat pada masa kolonial Hindia Belanda.
  1. Wilayah Batang Lawai atau sungai Kapuas (Tanah Sanggau, Tanah Sintang dan Tanah Lawai).[55] Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut dekat sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan Sintang mulai diperintah Dinasti Majapahit semenjak pernikahan Patih Logender dari Majapahit dengan Dara Juanti (Raja Sintang ke-9). Tahun 1600 Raja Sintang mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyalin kitab suci Al-Quran. Kerajaan Sintang dan Mlawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan oleh Sultan Adam kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826. Mlawai sebelumnya termasuk daerah-daerah yang diserahkan oleh Sunan Nata Alam kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Sedangkan Tanah Sanggau ditaklukan dan berada di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak.
  2. Wilayah Tanah Sukadana (sebagian besar Kalbar)[56] Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kerajaan Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustaka dengan Putri Gilang (Dayang Gilang) cucu Sultan Mustainbillah maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti.[24] Saat itu Raja Sukadana memiliki bisnis dan tinggal di Banjarmasin dan termasuk anggota Dewan Mahkota. Pada tahun 1622, kerajaan Sukadana berubah dari pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, selanjutnya Panembahan Giri Mustaka bergelar Sultan Muhammad Safi ad-Din. Pada tahun 1661 Sukadana/Matan terakhir kalinya Sukadana mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal Kesultanan Banten setelah mengalami kekalahan dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu Banten & VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada 26 Maret 1778, kemudian diserahkan oleh VOC di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak, karena itu gelar Sultan untuk penguasa Sukadana/Matan diubah menjadi Panembahan[57]
  3. Wilayah terluar di barat adalah Tanah Sambas. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Dipati Sambas (Panembahan Sambas) mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-1642).[58][59][24] Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan oleh Sultan Banjar kepada Sultan Agung, raja Mataram pada bulan Oktober tahun 1641 yang merupakan persembahan (bukan upeti) terakhir yang dikirim kepada pemerintahan di Jawa (Kesultanan Mataram).[60][61][62] Semula Kerajaan Sambas diperintah oleh Dinasti Majapahit yang bergelar Pangeran Adipati/Panembahan Sambas, selanjutnya mulai tahun 1675 Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dan berubah menjadi kesultanan bernama Kesultanan Sambas. Tahun 1855 Sambas digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.[63]
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinzaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah : [64]
  1. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
  2. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah milik Hindia Belanda seperti tersebut dalam Pasal 4 :
    1. Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
    2. Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
    3. Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
    4. Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah.
    5. Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
    6. Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
    7. Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
    8. Tanah Mandawai.
    9. Sampit
    10. Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
    11. Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
    12. Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan.
    13. Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
  3. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
  4. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
  5. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
    1. Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
    2. Padang Bajingah
    3. Padang Penggantihan
    4. Padang Munggu Basung
    5. Padang Taluk Batangang
    6. Padang Atirak
    7. Padang Pacakan
    8. Padang Simupuran
    9. Padang Ujung Karangan
  6. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1884.




Sistem Pemerintahan

  1. Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
  2. Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
  3. Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
  4. Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti pada masa Hindia Belanda.
  5. Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
  6. Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
  7. Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur
  8. Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
  9. Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
  10. Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
  11. Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman dan pedusunan
  12. Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
  13. Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
  14. Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
  15. Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
  16. Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
  17. Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
  18. Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
  19. Singabana : Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan pada masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :
  1. Mangkubumi
  2. Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
  3. Mantri Jaksa
  4. Tuan Panghulu
  5. Tuan Khalifah
  6. Khatib
  7. Para Dipati
  8. Para Pryai
  • Masalah-masalah agama Islam dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan, dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu.
  • Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
  • Masalah tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
  • Dalam hierarki struktur negara, dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa. Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
  • Para Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah Mangkubumi.
Sistem pemerintahan mengalami perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Perubahan itu meliputi jabatan :
  1. Mufti : hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
  2. Qadi : kepala urusan hukum agama Islam
  3. Penghulu : hakim rendah
  4. Lurah : langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
  5. Pambakal : Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
  6. Mantri : pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
  7. Tatuha Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
  8. Panakawan : orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
  • Sebutan Kehormatan
    • Sultan, disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
    • Gubernur Jenderal VOC : Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
    • Permaisuri disebut Ratu jika keturunan bangsawan atau Nyai Ratu jika berasal dari kalangan biasa, sedangkan para selir disebut Nyai.
    • Anak laki-laki raja bergelar Gusti (= Raden/Raden Aria pada zaman Hindu & awal Islam), dan jika anak permaisuri akan mendapat gelar Pangeran dan jika menjabat Dipati mendapat gelar berganda menjadi Pangeran Dipati. Para Pangeran keturunan Sultan yang memerintah menurunkan gelar "Gusti" ini kepada keturunannya baik anak lelaki maupun wanita. Para Gusti (lelaki) yang sudah jauh garis keturunannya dengan Sultan yang memerintah hanya menurunkan gelar Gusti hanya kepada anak lelaki.
    • Anak perempuan raja bergelar Gusti (= Raden Galuh pada zaman Hindu), jika anak permaisuri akan mendapat gelar Putri dan setelah menikah mendapat gelar Ratu.
    • Andin, menurut Tutur Candi gelar tersebut untuk keturunan kerajaan Negara Daha yang telah dikalahkan oleh Sultan Suriansyah dan tidak diperkenankan lagi memakai gelar Pangeran.
    • Antung, gelar untuk putera/puteri dari wanita "Gusti" yang menikah dengan orang kalangan biasa. Antung setara dengan gelar Utin (wanita) di Kotawaringin.
    • Seorang lelaki dari kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan, akan mendapat gelar Raden. Raden juga merupakan gelar bagi pejabat birokrasi dari golongan Nanang/Anang misalnya gelar Raden Tumenggung, yang selanjutnya meningkat menjadi Raden Dipati. Menurut Hikayat Banjar, gelar Nanang diberikan untuk kalangan keluarga Ampu Jatmika yang disebut Kadang Haji (haji= raja), sedangkan keluarga isteri Ampu Jatmika tidak mendapat gelar tersebut atau juga diberikan kepada lelaki dari kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan misalnya Nanang Sarang (digunakan pada abad ke-17).
    • Seorang lelaki keturunan Arab yang menikah dengan puteri Sultan akan mendapat gelar Pangeran Serip (Syarif), sedangkan puteri Sultan tersebut menjadi isteri permaisuri disebut Ratu Serip (Ratu Syarif).[65]


Berikut ini adalah daftar pemimpin-pemimpin yang memerintah di Kesultanan Banjar.[1][2]
No. Masa Sultan K e t e r a n g a n
1
1520-1546 Sultan Suriansyah * Raja Banjarmasih. Nama kecilnya Raden Samudra, Raja Banjar pertama sebagai perampas kekuasaan yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih yang menggantikan pamannya raja Pangeran Tumenggung (Raden Panjang), menurutnya dia ahli waris yang sah sesuai wasiat kakeknya Maharaja Sukarama (Raden Paksa) dari Kerajaan Negara Daha. Dibantu mangkubumi Aria Taranggana.[3] Baginda memeluk Islam pada 24 September 1526. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Sunan Batu Habang. Dalam agama lama, beliau dianggap hidup membegawan di alam gaib sebagai sangiang digelari Perbata Batu Habang.
2
1546-1570 Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah * Raja Banjarmasih. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Aria Taranggana. [3]Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Putih.
3 1570-1595 Sultan Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah * Raja Banjarmasih. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Anggadipa.[3] Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Irang. Puteranya Raden Bagus dilantik sebagai raja muda dengan gelar Ratu Bagus, belakangan Ratu Bagus ditawan di Tuban oleh Sultan Mataram dan baru dibebaskan pada masa Sultan Mustain Billah. Trah keturunan Sultan Hidayatullah I menjadi Datu-datu Taliwang dan Sultan-sultan Sumbawa.
4 1595-1638 Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I * Raja Banjarmasih/Raja Martapura. Nama kecilnya Raden Senapati, diduga ia perampas kekuasaan, sebab ia bukanlah anak dari permaisuri meskipun ia anak tertua. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Jayanagara, dilanjutkan sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara. Gelar lain : Gusti Kacil/Pangeran Senapati/Panembahan Marhum/Raja Maruhum dan gelar yang dimasyhurkan Marhum Panembahan. Beliau memindahkan ibukota ke Martapura.[3] Oleh Suku Dayak yang menghayati Kaharingan baginda dianggap hidup sebagai sangiang di Lewu Tambak Raja dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang. Keturunannya menjadi Raja-raja Banjar dan Kotawaringin.
5 1642-1647 Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah * Raja Martapura. Gelarnya sebelum menjadi Sultan adalah Pangeran Dipati Tuha [ke-1]. Pemerintahannya dibantu adiknya Pangeran di Darat sebagai mangkubumi. Gelar lain : Ratu Agung/Ratu Lama dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura. Adiknya, Pangeran Dipati Anta-Kasuma diangkat menjadi raja muda di wilayah sebelah barat yang disebut Kerajaan Kotawaringin
6 1647-1660 Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah * Raja Martapura. Nama kecilnya Raden Kasuma Alam. Pemerintahannya dibantu mangkubumi pamannya Panembahan di Darat, dilanjutkan pamannya Pangeran Dipati Anta-Kasuma, terakhir dilanjutkan paman tirinya Pangeran Dipati Mangkubumi (Raden Halit).[3] Gelar lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah/Sultan Ratu. Sultan Ratu memiliki dua putera yaitu Pangeran Suria Angsa (Raden Bagus/Sultan Amrullah) dan Pangeran Suria Negara (Raden Basus/Pangeran Dipati Tuha).[4] Keturunannya menjadi Raja-raja Banjar dan Tanah Bumbu.
7 1660-1663 Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Mustain Billah * Raja Martapura. Nama kecilnya Raden Halit. Ia sebagai temporary king/badal menjadi pelaksana tugas bagi Raden Bagus, Putra Mahkota yang belum dewasa. Sebagai Penjabat Sultan dengan gelar resmi dalam khutbah Sultan Rakyatullah (Rakyat Allah). Pemerintahannya dibantu mangkubumi keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati bin Pangeran Dipati Antasari. Gelar lain : Pangeran Dipati Tapasena/Pangeran Mangkubumi/Panembahan Sepuh/Tahalidullah/Dipati Halit. Pada tahun 1663 ia dipaksa menyerahkan tahta kepada kemenakannya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung yang berpura-pura akan menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota Raden Bagus tetapi ternyata untuk dirinya sendiri yang hendak menjadi Sultan.[3]
8 1663-1679 Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah * Nama kecilnya Raden Bagus. Masa pemerintahannya sering ditulis tahun 1660-1700. Pada tahun 1660-1663 ia diwakilkan oleh Sultan Rakyatullah dalam menjalankan pemerintahan karena ia belum dewasa. Pada tahun 1663 paman tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung merampas tahta dari Sultan Rakyatullah, yang semestinya dirinyalah sebagai ahli waris yang sah sebagai Sultan Banjar berikutnya. [3] Sementara itu ia telah dilantik oleh Pangeran Tapesana/Sultan Rakyatullah dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma. Tahun 1663-1679 ia sebagai raja pelarian yang memerintah dari pedalaman (Alay)  
9 1663-1679 Sultan Agung/Pangeran Suryanata II bin Sultan Inayatullah * Raja Banjarmasih. Nama kecilnya Raden Kasuma Lalana. Mengkudeta/mengambil hak kemenakannya Raden Bagus sebagai Sultan Banjar. Ia dengan bantuan suku Biaju, memindahkan pusat pemerintahan ke Sungai Pangeran (Banjarmasin). Pemerintahannya dibantu mangkubumi Pangeran Aria Wiraraja, putera Pangeran Ratu. Sebagai raja muda ditunjuk adik kandungnya, Pangeran Purbanagara. Ia berbagi kekuasaan dengan saudara kakeknya Pangeran Ratu (Sultan Rakyatullah) yang kembali memegang pemerintahan Martapura sampai mangkatnya pada 1666. Gelar lain : Pangeran Dipati Anom II.[3]
10 1679-1700 Sultan Amrullah Bagus Kasuma/Suria Angsa/Saidillah bin Sultan Saidullah * Raja Kayu Tangi. Ia sempat lari ke daerah Alay (1663-1679) kemudian menyusun kekuatan dan berhasil membinasakan pamannya tirinya Sultan Agung beserta anaknya Pangeran Dipati, kemudian naik tahta kedua kalinya. Saudara tirinya Raden Basus/Suria Negara/Pangeran Dipati Tuha diangkat sebagai Raja daerah Negara, yang kemudian membangun kerajaan Tanah Bumbu dengan wilayah dari Tanjung Aru sampai Tanjung Silat yang diperuntukan bagi anaknya yaitu Pangeran Mangu, anak lainnya Pangeran Citra menjadi Sultan Kelua.
11 1700-1717 Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning bin Sultan Amrullah * Raja Kayu Tangi. Tahmidullah I memiliki dua putera dewasa, yang tertua adalah Sultan Ilhamidullah/Sultan Kuning/Sultan Badarul Alam dan yang kedua Sultan Sepuh/Tamjidullah I.[5] [6] Sedangkan penguasa daerah Negara dijabat oleh Pangeran Mas Dipati[7]
12 1717-1730 Panembahan Kasuma Dilaga * Raja Kayu Tangi. Iparnya yang bernama Raden Jaya Negara dilantik sebagai penguasa daerah Negara
13 1730-1734 Sultan Hamidullah/Sultan Kuning bin Sultan Tahmidullah I * Raja Kayu Tangi. Gelar lain : Sultan Kuning atau Pangeran Bata Kuning.[8] Panglima perang dari La Madukelleng menyerang Banjarmasin pada tahun 1733
14 1734-1759 Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahmidullah I * Raja Kayu Tangi. Gelar lain: Sultan Sepuh/Panembahan Badarulalam.[8] Raja Kayu Tangi. Ia bertindak sebagai wali Putra Mahkota Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang bergelar Ratu Anom yang belum dewasa. Tamjidullah I yang bergelar Sultan Sepuh ini berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis keturunannya. Adiknya Pangeran Nullah (Penembahan Hirang) dilantik sebagai mangkubumi.[9] Tamjidullah I mangkat 1767.
15 1759-1761 Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Il-Hamidullah/Sultan Kuning * Raja Kayu Tangi. Ia menggantikan mertuanya Sultan Sepuh/Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar. Setelah itu mantan Sultan Sepuh tidak lagi memakai gelar Sultan tetapi hanya sebagai Panembahan. Sebagai mangkubumi adalah Pangeran Nata dengan gelar Ratu Dipati, putera Sultan Sepuh. Gelar lain : Sultan Muhammadillah/Sultan Aminullah/Muhammad Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika mangkat anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata Dilaga sebagai wali Putra Mahkota.
16 1761-1801 Sunan Nata Alam bin Sultan Tamjidullah I * Raja Kayu Tangi. Tahun 1771 ia memindah ibukota ke Martapura yang dinamakan Bumi Selamat. Semula sebagai wali Putra Mahkota dengan gelar Panembahan Kaharuddin Halilullah. Pamannya yang bernama Pangeran Mas menjadi mangkubumi dengan gelar Ratu Anom Kasuma Yuda (mangkubumi Sultan Tahmidullah II). Ratu Anom Kasuma Yuda kemudian wafat dan digantikan Ratu Anom Ismail atau Ratu Anom Mangkudilaga.[9] Gelar lain : Sultan Tahmidullah II/Sunan Nata Alam (1772)/Pangeran Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu'minin Abdullah(1762)/Sunan Sulaiman Saidullah I(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan Anom. Mendapat bantuan VOC untuk menangkap Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan Arung Trawe/Petta To Rawe pimpinan suku Bugis-Paser yang mengalami kegagalan, kemudian Pangeran Amir menjalin hubungan dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni Belanda 14 Mei 1787, kemudian diasingkan ke Srilangka. Sebagai balas jasa kepada VOC maka dibuat perjanjian 13 Agustus 1787 yang menyebabkan Kesultanan Banjar menjadi vazal VOC atau daerah protektorat, bahkan pengangkatan Sultan Muda dan mangkubumi harus dengan persetujuan VOC. Sultan Tahmidullah II mempunyai saudara perempuan bernama Ratu Laiya yang menikah dengan Sultan Muhammad dari Sumbawa. [10]
17 1801-1825 Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II * Ia membangun keraton di Karang Intan (bekas Kayu Tangi dahulu) Ia mendapat gelar Sultan Muda atau Pangeran Ratu Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun. Dibantu oleh Pangeran Mangku Dilaga dengan gelar Ratu Anom Mangku Dilaga sebagai mangkubumi (dihukum bunuh karena merencanakan kudeta), dilanjutkan puteranya sendiri Pangeran Husin dengan gelar Pangeran Mangku Bumi Nata.[11] Sultan Sulaiman digantikan anaknya Sultan Adam. Keturunannya menjadi Sultan Banjar dan raja-raja Kusan, Batulicin dan Pulau Laut. Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris, tetapi Inggris melepaskan kekuasaannya di Banjarmasin. Kemudian Hindia Belanda datang kembali ke Banjarmasin untuk menegaskan kekuasaannya.
18 1825-1857 Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah * Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Pemerintahannya dibantu adiknya Pangeran Noh dengan gelar Ratu Anom Mangkoeboemi Kentjana sebagai mangkubumi yang dilantik Belanda pada 1842[12], dan Pangeran Abdur Rahman sebagai Sultan Muda. Ketika mangkatnya terjadi krisis suksesi dengan tiga kandidat penggantinya yaitu Pangeran Prabu Anom, Pangeran Tamjidullah II dan Pangeran Hidayatullah II, Belanda sebelumnya sudah mengangkat Tamjidullah II sebagai Sultan Muda sejak 8 Agustus 1852 juga merangkap jabatan mangkubumi dan kemudian menetapkannya sebagai sultan Banjar, sehari kemudian Tamjidullah II menandatangani surat pengasingan kandidat sultan lainnya pamannya sendiri Pangeran Prabu Anom yang diasingkan ke Bandung pada 23 Februari 1858. Tahun 1853 Sultan Adam sudah mengutus surat ke Batavia agar pengangkatan Tamjidullah II dibatalkan. Tahun 1855 Sultan Adam melantik puteranya Pangeran Prabu Anom sebagai Raja Muda. Sultan Adam sempat membuat surat wasiat yang menunjuk cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar penggantinya, inilah yang menjadi dasar perlawanan segenap bangsawan terhadap Hindia Belanda[13]
19 1857-1859 Sultan Tamjidullah II al-Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam *Sejak 1851 ia dilantik Belanda sebagai mangkubumi menggantikan Ratu Anom Mangku Bumi Kencana yang meninggal dunia, kemudian tahun 1852 menjadi Sultan Muda menggantikan ayahnya Pangeran Abdurrahman yang meninggal dunia 5 Maret 1852, walaupun pelantikan ini tidak disetujui kakeknya Sultan Adam. Pada 3 November 1857 Tamjidullah II diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar, padahal ia anak selir meskipun ia sebagai anak tertua dan kemudian Belanda mengangkat Hidayatullah II sebagai mangkubumi. Ia memiliki tanah lungguh di Kota Banjarmasin karena itu sebagian rakyat dan ulama Banjarmasin mendukungnya. Banjarmasin menurut tradisi berada di bawah putera tertua Sultan. Pengangkatan Tamjidullah II ditentang segenap bangsawan karena menurut wasiat semestinya Hidayatullah II sebagai Sultan karena ia anak permaisuri. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar kemudian mengirimnya ke Bogor. Sultan Seman, mertua Tamjidullah II ditangkap dan dihukum gantung dengan empat orang pengikutnya dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Sebagai pengganti jabatan Sultan Banjar yang kosong, Belanda melantik komisi pemerintahan kerajaan yang terdiri atas Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Muhammad Tambak Anyar. Sementara Sultan Muda menghindari penangkapan Belanda melarikan diri ke pulau Sumatera.
20 1859-1862 Sultan Hidayatullah Khalilullah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam * Nama kecilnya adalah Gusti Andarun, kemudian sebagai mangkubumi ia memakai gelar Pangeran Hidayatullah. Sesuai wasiat Sultan Adam ia sebagai Sultan Banjar penggantinya. Pada 9 Oktober 1856 ia dilantik Belanda sebagai mangkubumi tetapi diam-diam ia menjadi oposisi Tamjidullah II, misalnya dengan mengangkat Adipati Anom Dinding Raja (Jalil) sebagai tandingan Raden Adipati Danu Raja yang berada di pihak Belanda/Sultan Tamjidullah II. Pangeran Hidayatullah II memiliki tanah lungguh meliputi Alai, Paramasan, Amandit, Karang Intan, Margasari dan Basung. Perjuangan Sultan Hidayatullah II dibantu oleh tangan kanannya Demang Lehman yang memegang pusaka kerajaan Keris Singkir dan Tombak Kalibelah. [14] Ketika berada di Banua Lima pada bulan September 1859, ia dilantik di Amuntai oleh rakyat Banua Lima sebagai Sultan Banjar, dan Pangeran Wira Kasuma sebagai mangkubumi. Pelantikan ini untuk memenuhi angan-angan rakyat Banua Lima walaupun bersifat marjinal karena pada dasarnya seluruh wilayah berada dalam kekuasaan Belanda. Penobatanya ini pada umumnya disetujui pula oleh rakyat yang berada di Banua Lima maupun di luar Banua Lima. Pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar yang kelak digantikan oleh pemerintahan seorang regent untuk wilayah Martapura yaitu Pangeran Jaya Pamenang dan regent untuk Banua Lima yaitu Raden Adipati Danu Raja. Sultan Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur
21 1862 Pangeran Antasari bin Pangeran Mashud bin Sultan Amir[15] bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah * Raja Bakumpai. Pada 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur diproklamasikanlah pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Khalifah ini dibantu Tumenggung Surapati sebagai panglima perang. Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman Barito, Murung Raya, Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober 1862 di kampung Sampirang, Bayan Begak, Puruk Cahu, karena penyakit cacar. Dimakamkan kembali 11 November 1958 di Komplek Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin.
22 1862-1905 Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin * Raja Pagustian. Sebagai kepala Pemerintahan Pagustian meneruskan perjuangan ayahnya, Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda dengan dibantu kakaknya Panembahan Muda/Gusti Muhammad Said sebagai mangkubumi dan Panglima Batur sebagai panglima perang. Ia melantik menantunya Pangeran Perbatasari bin Panembahan Muhammad Said sebagai Sultan Muda. Pangeran Perbatasari tertangkap di daerah Pahu, Kutai Barat dan dibuang ke Kampung Jawa Tondano. Sultan Muhammad Seman sempat mengirim Panglima Bukhari ke Kandangan untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Muhammad Seman gugur pada 24 Januari 1905 ditembak Belanda yang mengakhiri Perang Banjar dan banyak para pahlawan pejuang yang tertangkap, Pangeran Aminullah (menantu Pangeran Prabu Anom) dibuang ke Surabaya, Ratu Zaleha diasingkan ke Bogor, keturunan Tumenggung Surapati yang tertangkap diasingkan ke Bengkulu, dan sebagai penerus Sultan Muhammad Seman adalah Gusti Berakit. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan.
23 2010 Pangeran Khairul Saleh, trah Sultan Sulaiman *Raja Muda Banjar. Pada 24 Juli 2010 Gusti Khairul Saleh (Bupati Kabupaten Banjar) dilantik sebagai Pangeran dan dinobatkan sebagai Raja Muda Banjar oleh Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar. Raja Muda (Ratu Anom), gelar untuk Mangkubumi Banjar, yang sejajar dengan gelar raja daerah Kotawaringin, tetapi satu level di bawah gelar Sultan Muda Banjar. Gusti Khairul Saleh keturunan Pangeran Singasari bin Sultan Sulaiman    

0 Response to "SEJARAH KERAJAAN BANUA LIMA"

Posting Komentar