Datu Banua Lima
Datu Banua Lima
Hikayat Datu Banua Lima
Hikayat Datu Banua Lima (Ringkasan)
Oleh: Datu Panglima Alai_Admin FB Group Bubuhan Kulaan Urang Alai Borneo
(Cerita ini merupakan versi lain, selain Hikayat Banjar Versi JJ. Ras, dan banyak sekali perbedaan terutama pada garis silsilah dan alur cerita)
Sakitar
abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan yang merupakan kerajaan permulaan
di Kalimantan Selatan, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Nagara Dipa.
Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Tanjungpuri. Bermula berdirinya
Kerajaan Tanjungpuri adalah saat kedatangan bubuhan imigran Malayu asal
Kerajaan Sriwijaya di pulau sumatera sekitar Tahun 400-500 Masehi. Oleh
karena kebudayaan imigran Malayu sudah lebih maju, lalu mereka
mendirikan kampung yang lama kelamaan berubah menjadi sebuah kerajaan
kecil. Para imigran Malayu tersebut banyak yang melakukan perkawinan
dengan panduduk setempat, yakni suku Dayak (Maanyan, Bukit, Ngaju),
sehingga Kerajaan Tanjungpuri tersebut, panduduknya terdiri dari orang
Malayu dan Dayak. Perpaduan kadua suku tersebut akhirnya nanti
menurunkan suku Banjar (Asal muasal suku Banjar).
Semantara
sekitar 3000-1500 SM untuk pertama kalinya Imigran dari Yunnan di China
Selatan datang ke tanah Borneo. Mereka inilah padatuan ‘nenek moyang
orang Dayak atau istilahnya “Melayu tua”. Berabad-abad lamanya Kerajaan
Tanjungpuri berdiri, penduduknya makmur dan sajahtera, hidup damai serta
bahagia. Pada Tahun 1309 M berdiri juga sabuah kerajaan orang Maanyan
yang bernama “Nan Sarunai”. Kedua kerajaan ini saling berkeluarga dan
berteman dekat, tidak pernah ada permusuhan. Walau berbeda keyakinan,
–Kerajaan Tanjungpuri kebanyakan pangikut ajaran Buddha sedangkan
Kerajaan Nan Sarunai kebanyakan pengikut ajaran Kaharingan– tapi kedua
kerajaan tetap saling menghormati. Kedua kerajaan sama-sama berkomitmen
menjaga alam lingkungan, tidak mau menambang batu bara yang banyak
terdapat di wilayah kerajaan, apalagi menanam sawit karena pada saat itu
tidak ada istilah jual beli tanah dan sawit serta hasil tambang batu
bara.
Kerajaan
Tanjungpuri mempunyai lima orang Panglima. Yang Partama bergelar
Panglima Alai, yang merupakan ahli politik dan strategi. Yang Kedua,
Panglima Tabalong, orangnya gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria.
Yang Katiga, Panglima Balangan, Orangnya sangat tampan, pintar, dan
suka menuntut ilmu, sedangkan yang keampat dan kelima si kembar yang
bergelar Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Mereka berdua ini
orangnya cepat emosian, keras kepala, dan suka berkelahi. Kelimanya
bersaudara ini, anak dari Datu Intingan (Saudaranya Datu Dayuhan Kapala
suku Dayak Maratus) dan Dayang Baiduri (Putri Imigran Melayu keturunan
Sriwijaya).
Pada
saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai
Nusantara. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah termakan
sumpah hendak ‘menguasai’ nusantara. Tapi oleh para politikus Majapahit
kata ‘menguasai’ diperhalus menjadi ‘mempersatukan’ nusantara. Ada
mata-mata Majapahit yang berdalih berdagang ke kotaraja kedua kerajaan
tadi, didapatlah informasi bahwa kedua kerajaan tersebut sangat makmur.
Istananya saja berlapis emas. Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja
Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua kerajaan tersebut,
Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai.
Pada
Tahun 1356 Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke
wilayah Borneo. Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai.
Sakitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal melewati Sungai
Barito yang dipimpin oleh Senopati Arya Manggala. Melihat pasukan yang
sangat banyak tersebut, lalu Kerajaan Nan Sarunai mminta bantuan ke
Kerajaan Tanjungpuri. Lalu oleh raja Tanjungpuri dikirim lima orang
Panglima tadi dengan membawa 1000 pasukan membantu Kerajaan Nan Sarunai.
Setelah itu pecahlah perang yang dahsyat antara pasukan Majapahit
melawan pasukan Nan Sarunai yang dibantu pasukan Tanjungpuri. Banyak
sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Pasukan Majapahit yang
terkenal hebat dalam bertempur karena sudah berkeliling Nusantara
manaklukan berbagai kerajaan, saat itu mendapat perlawanan yang hebat
tak terkira. Banyak tentara Majapahit yang mati di tangan lima panglima
Tanjungpuri yang sakti-sakti tersebut. Panglima Alai yang ahli strategi
mengatur pasukan, Panglima Tabalong yang gagah mengamuk di barisan
paling muka, banyak tentara Majapahit yang terlempar ke udara
dilemparkan oleh panglima atau banyak juga yang dilemparkan ke tubuh
musuh yang berani mendekat. Sedangkan Panglima Balangan menjadi pimpinan
barisan pangawal raja, dengan kesaktiannya mampu melindungi raja dari
keroyokan pasukan Majapahit. Semantara Panglima Hamandit dan Panglima
Tapin beradu (duel) kesaktian dengan para pendekar Majapahit. Banyak
sudah Pendikar Persilatan Majapahit yang merupakan orang-orang bayaran,
mati di tangan Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Setelah dua hari
bertempur akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur, bahkan
Senopati Arya Manggala penggal kepalanya terkena Mandau terbang
“Pangkalima Angkin”, Panglima Kerajaan Nan Sarunai yang terkenal sakti.
Sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit menuju kapal untuk
pulang ke Jawa.
Di
Tanjungpuri setelah peperangan malawan Majapahit banyak infrastruktur
kerajaan yang hancur, ladang banyak yang rusak begitu juga pohon karet
banyak yang roboh. Pelabuhan kerajaan tidak ramai lagi karena banyak
padagang yang takut berlabuh setelah mendengar ada perang. Maka tarjadi
“krisis moneter” berkepanjangan di Kerajaan Tanjungpuri. Kelima panglima
kerajaan mendapat tanah kekuasaan masing-masing di daerah lima aliran
sungai yang berhulu di Pegunungan Maratus sebagai hadiah dari Sri
Baginda Darmapala. Daerah lima aliran sungai tersebut akhirnya bernama
sesuai gelar lima Panglima Tanjungpuri. Panglima Alai mendapat wilayah
yang bernama Batang Alai (sekarang menjadi Kabupaten HST), Panglima
Tabalong mendapat wilayah yang bernama Batang Tabalong (sekarang menjadi
Kabupaten Tabalong), Panglima Balangan mendapat wilayah yang bernama
Batang Balangan (sekarang menjadi Kabupaten Balangan), Panglima Hamandit
mandapat wilayah Batang Hamandit (sekarang menjadi Kabupaten HSS),
sedangkan Panglima Tapin mandapat wilayah Batang Tapin (sekarang menjadi
Kabupaten Tapin).
Ada
kisah menarik antara dua Panglima kembar tersebut, yaitu Panglima
Hamandit dan Panglima Tapin, yang keduanya sama-sama menghendaki anak
Raja Tanjungpuri yang bernama Putri Diang Bulan, sampai-sampai yang
mereka berdua bertengkar, tapi karena sama-sama sakti, maka tidak ada
yang mampu saling mengalahkan. Akhirnya oleh Putri Diang Bulan, mereka
disuruh beradu ba igal (berjoget). Ternyata Panglima Tapin lebih hebat
berjoget daripada Panglima Hamandit. Oleh karena itu, orang-orang Tapin
banyak yang menguasai kesenian bajapin ‘bagandut.’ Tapi Putri Diang
Bulan tidak sampai hati memilih di antara keduanya. Akhirnya Putri Diang
Bulan kembali menyuruh mereka untuk beradu pantun ‘baturai pantun’ dan
ternyata Panglima Hamandit yang lebih hebat, makanya orang-orang daerah
Hamandit banyak menguasai bidang sastra. Karena sama-sama mempunyai
kelebihan, Putri Diang Bulan menjadi semakin bingung sendiri. Karena
kebigungan, akhirnya Putri Diang Bulan memilih kawin dengan Panglima
Alai. Oleh sebab itu, orang-orang Hamandit dan Tapin banyak yang tidak
suka dengan orang-orang Alai kalau urusan cinta dan perempuan. Panglima
Tabalong dan Panglima Balangan yang mengetahui soal cinta sagi empat di
antara saudaranya tersebut lebih memilih netral, tidak memihak ke
mana-mana. Datu Dayuhan dan Datu Intingan yang malihat hal tersebut
akhirnya cepat turun tangan berusaha untuk mempersatukan persaudaraan
mereka. Oleh karena itu, setiap tahun diadakan upacara ‘Aruh Ganal’ di
daerah pahuluan sana.
Pada
Tahun 1387 atau 29 tahun setelah terjadinya peperangan antara Majapahit
dan Tanjungpuri, berdiri sebuah Kerajaan Hindu di Borneo yang bernama
Nagaradipa. Kepala pemerintahannya bernama Empu Jatmika, seorang
palarian matan Kerajaan Kediri. Karena tingkah lakunya yang baik dan
santun, dia disukai oleh Raja Tanjungpuri yang bernama Sri Baginda
Kartapala (anak Sri Baginda Darmapala). Oleh Sri Baginda Kartapala, Empu
Jatmika ditawari agar anaknya Lambung Mangkurat untuk mengawini anaknya
yang bernama Putri Junjung Buih. Tapi karena merasa ketuaan, Lambung
Mangkurat menyuruh anaknya Raden Putera untuk mengawini Putri Junjung
Buih.
Raden
Putera adalah anak Lambung Mangkurat dari parkawinan dengan Urang Biaju
(Dayak Ngaju). Singkat cerita akhirnya Raden Putra kawin dengan Putri
Junjung Buih. Sejak saat itu Sri Baginda Kartapala menyerahkan seluruh
kekuasaan dan wilayah Tanjungpuri kepada Kerajaan Nagaradipa. Kerajaan
Nagaradipa sendiri mengangkat Raden Putera sebagai raja yang bergelar
Pangeran Suryanata. Namun ada sesuatu hal yang bergejolak di dalam
pemerintahan Nagaradipa, yaitu saling berebut pengaruh antara Imigran
Majapahit yang sengaja disusupkan jadi pajabat di Nagaradipa dengan
orang-orang Tanjungpuri yang ikut mangabdi jadi pajabat di Kerajaan
Nagaradipa. Apalagi setelah para politikus Majapahit mampu mempengaruhi
Patih Lambung Mangkurat yang akhirnya memutuskan malarang adat istiadat
Melayu dan Dayak di Kerajaan Nagaradipa. Pakaian adat harus mengikuti
gaya pakaian orang Majapahit (kelak pada saat perpindahan kekuasaan dari
Nagaradipa ke Nagaradaha kebudayan Melayu dan Dayak kembali mendapat
tempat di kerajaan).
Mendengar
hal tersabut, lima Panglima Tanjungpuri yang sudah tua-tua menjadi
berang. Kelima Panglima ini sangat kecewa sekali sebab mereka sudah
bersumpah tidak akan tunduk dengan Majapahit. Tapi oleh karena masih
menghormati Putri Junjung Buih sabagai cucu Sri Baginda Darmapala,
kalima Panglima tersebut mampu menahan diri. Setelah itu kelima panglima
ini tidak pernah muncul lagi baik di dunia politik maupun di dunia
parsilatan. Mereka masing-masing mengasingkan diri ke Pegunungan
Maratus. Para keluarga Kerajaan Tanjungpuri pun terpecah dua, ada yang
mandukung Nagaradipa dan ada juga yang tidak. Yang tidak mendukung
akhirnya ikut mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus di bawah pimpinan
Pangeran ke-10 mengikuti para Datu Banua lima. Tempat berkumpulnya para
kaluarga Kerajaan Tanjungpuri di Pegunungan Maratus yang di pimpin
Pangeran ke 10 adalah Manggajaya.
Melihat
hal tersabut Patih Lambung Mangkurat merasa tarancam lalu atas bantuan
Majapahit dia mengirim pasukan di bawah pimpinan Hulu Balang Arya
Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa ka daerah Batang Tabalong, Batang
Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Batang Tapin supaya tunduk
terhadap kekuasaan Nagaradipa. Kelima wilayah tersabut memang bisa
ditaklukan, tapi daerah “Manggajaya” tak ada berani menyerang ke sana
karena menurut cerita Lima orang Panglima yang bergelar Datu Banua Lima
ada di Manggajaya dan di sana juga bakumpul para keturunan keluarga
Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai. Itulah sebabnya kenapa
orang-orang pahuluan (Banua Lima) terkenal berjiwa pahlawan sebab masih
sebagai keturunan para Panglima Kerajaan Tanjungpuri. Kelak di masa
penjajahan Belanda, orang Manggajaya ini yang akan turun membantu
Pangeran Hidayatullah bertempur di wilayah Banua Lima. Hal tersebut
kembali berulang pada saat masa mempertahankan kemerdekaan, orang-orang
Banua Lima ini terkenal sebagai bagian dari pasukan ALRI Div. IV di
bawah komando Brigjen Hasan Basri (keturunan Panglima Hamandit).
Tamat.
Sumber LANGSAT
0 Response to "Datu Banua Lima"
Posting Komentar